Pages

Sahabatku

Jumat, 11 Januari 2013

Drama - Anugerah dari Seorang Anak


Anugerah dari seorang anak


Di sebuah desa, terdapat sebuah keluarga yang mempunyai seorang putri nan shalihah layaknya ibunya. Setiap hari ia memberi pelajaran agama dan nilai moral kepada putrinya itu agar kelak ia menjadi insan nan berguna bagi agama dan bangsa.
Sementara di seberang sana, Yaqthan Madinatur Riyadh, seorang suami yang sudah bertahun-tahun ia tidak pernah masuk masjid, bahkan tidak pernah bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala walau sekali. Ia menghabiskan waktunya hanya untuk menjalankan larangan-Nya dan melalaikan perintah-Nya.
Naufal                : Hei, Riyadh. Sepanjang malam kau menghabiskan waktumu untuk hura-hura dan bermain. Begadang sampai pagi. Apa kau tidak peduli lagi dengan istri dan anakmu?
Riyadh               : Hei, bung! Justru aku lebih senang berada di sini. Toh, dia bisa hidup sendiri dengan anaknya.
Teman II            : Anaknya? Bukannya itu juga anakmu?
Riyadh               : Memang dia anakku. Tapi kalau di rumah. Di sini kan I am single.
Dan sekelompok orang itu mabuk-mabukan hingga tak sadarkan diri. Pukul 3.00 dini hari terdengarlah suara ayam. Riyadh terjaga dari tidurnya. Ia pun berniat untuk pulang ke rumahnya.
Ketika ia melihat pintu rumahnya terkunci rapat, Riyadh menjadi geram. Karena ia tidak suka jika ia pulang mesti menunggu istrinya untuk membukakan pintu. Ia seolah-olah tidak membutuhkan penyambutan dari istrinya itu. Ia menjerit sekeras-kerasnya untuk membangunkan istrinya yang sebenarnya tidak bisa tidur karena menanti suaminya.
Riyadh                        : Oy,, Habibah, buka pintu woii!! (teriak Riyadh sambil menggedor-gedor pintu rumah).
Istri Riyadh     : Masya Allah abang, engkau mabuk lagi. Insyaflah bang, siapa tahu engkau akan mati besok.
Riyadh                        : Makanya kau doakan aku panjang umur bodoh!
Istri Riyadh     : Astaghfirullah.
Riyadh            : Heh, kalau kau mau ceramah, besok saja di masjid sana. Sekarang aku mau tidur. (Riyadh langsung pergi tidur).
Hari demi hari berlalu namun Riyadh tetap tidak kunjung menyadari dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Ia justru semakin menjalani hidupnya di dalam dunia yang semakin tak tentu arah. Ia benar-benar telah melupakan Tuhannya, Allah SWT.
Keesokan malam pukul tiga pagi Riyadh pulang dari begadang sambil mabuk-mabukan. Padahal, pada jam-jam seperti itu Allah Subhanahu wa Ta’ala turun dan berfirman, ‘Adakah yang berdoa supaya kuistijabah? Adakah yang beristighfar agar kuampuni? Dan, adakah yang meminta sesuatu supaya kupenuhi?’
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Putri mungilnya memandanginya dengan heran dan hina.
Lisa                 : Tidak baik bagimu, ayahku, bertakwalah kepada Allah.
Riyadh bingung dengan apa yang diucapkan putrinya dan keluar mengikuti jejak putrinya, ternyata putrinya telah kembali ke tempat tidur. Tidak lama kemudian, suara muadzin menggema di masjid dekat rumah, memecahkan keheningan malam yang mena­kutkan. Akhirnya, ia pun berwudhu’ dan berangkat ke masjid. Sejatinya, ia tidak begitu ingin shalat. Tetapi, kata-kata putrinya mengusik ketenangannya.
(Muadzin)

Dan setelah ia selesai sholat, ia pun memanjatkan doa. Saat itu pula tangisnya pecah. Ia memohon ampun, menyadari akan kerapuhan imannya selama ini, ia yang telah melalaikan perintah Allah, bahkan tak perduli lagi siapa tuhannya.
Sehabis shalat ia kembali ke rumah. Sesungguhnya ia sangat ingin melihat putrinya, namun ia mengundur niatnya dan kembali ke kamarnya. Ia tak dapat tidur.
Lalu keesokan paginya di pagi yang cerah, Riyadh pergi ke kantor lebih cepat bahkan sangat lebih cepat dari biasanya. Benar saja hal itu membuat teman-teman di kantornya merasa aneh melihatnya datang lebih pagi.
Sajid                : Wah, wah.. Riyadh, tumben nih datang cepat.
Riyadh            : Eh, begini sob! Tadi malam putriku menemuiku, pada saat itu aku sedang menonton film di kamar. Tiba-tiba ia berkata “Tidak baik bagimu, ayahku, bertakwalah kepada Allah.” Apa maksudnya ya?
Sajid                : Subhanallah. Segala puji bagi Allah yang telah mengirim putri mungilmu untuk menyadarkanmu dari kelalaianmu. Masih beruntung Allah tidak mengutus malaikat maut untuk mencabut nyawamu pada saat itu.
Pada hari itu Riyadh sangat semangat dalam kerjanya. Namun tetap saja pikirannya melayang kepada sosok putri mungilnya di rumah. Ia begitu merindukan putrinya. Sesal di hatinya karena tadi pagi ia tidak meluluskan niat hatinya untuk melihat putrinya. Putri yang selama ini tidak pernah ia beri kasih sayang barang secuilpun. Bahkan ia merasa justru istrinyalah yang telah menjadi ayah serta ibu bagi anaknya.
Hingga usai waktu Dzuhur.
Riyadh                        : Sajid, maukah kau menggantikan pekerjaanku ini.
Sajid                : Apa itu? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?
Riyadh            : Aku bermaksud ingin pulang cepat.  Entah mengapa di lubuk hatiku terpendam kerinduan membara untuk segera melihat putri mungilku. Dia telah menjadi penyebab terbukanya pintu hidayah bagiku, juga mengembalikan aku kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sajid                : Ya, silahkan. Sampaikan pula salam sayangku pada putri mungilmu itu.
Riyadh pun pulang ke rumah membawa kerinduan membara untuk segera bertemu putrinya. Hatinya begitu senang membayangkan apa yang terjadi setelah bertemu dengan putri dan istrinya di rumah. Ia berniat akan membangun kembali rumah tangga yang tak pernah ia bahagiakan.
Namun alangkah terkejutnya ketika ia tiba di rumah, istrinya berdiri di depan pintu. Hal yang tak pernah dilakukan istrinya. Karena Riyadh tak menginginkan ada acara penyambutan atas kepulangannya.
Habibah           : Ke mana saja engkau?
Riyadh                        : Aku di tempat kerja. Mengapa kau berdiri seperti ini di sini?
Habibah           : Kami telah berusaha menghubungimu berkali-kali abang, tetapi tidak bisa. Aku juga telah mencari di warung itu tetapi teman-temanmu justru tidak ada yang melihatmu. Di mana saja engkau, bang?
Riyadh            : Aku di masjid kantorku. Memangnya, apa yang terjadi? Kenapa engkau sepanik ini?
Habibah           : Putrimu telah tiada.
Riyadh            : Inalillahi wa inailaihi raaziun. Semoga Allah mem­pertemukanku dengannya di surga.
‘Tidak baik bagimu, ayahku, ber­takwalah kepada Allah… Kalimat itu terngiang kembali di telinganya.
Orang-orang yang hadir berada di rumah itu turut berduka. Hati mereka hampir terputus karena menahan kesedihan yang mengharu biru atas kepergian anak kecil itu.
Begitulah saudaraku…
Tidak seorang pun tahu kapan malaikat maut datang menjemputnya. Kematian tidak mengenal besar dan kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya” (An-Nahl: 61).
Karena itu, segeralah kembali kepada Allah. Segeralah bertaubat dengan tulus. Semoga taubat yang tulus menjadi penutup usia, dan menjadi balasan terbaik di surga Yang Maha Pengasih. [Mawaqif Min Hayat Al-Anbiya', hlm. 123]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.