Pages

Sahabatku

Minggu, 20 Januari 2013

KEPADA CINTA

Dari: Smita Pratitha Sjahputri

Untuk Seseorang yang Pernah Ada

Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan membuncah yang tidak bisa aku kontrol.

Aku kangen kamu.

Hari ini, sudah berhari-hari sejak tanggal 10 Juli kemarin, sejak kita menutup sebuah pembicaraan panjang di telepon yang juga mengakhiri hubungan yang belum sempat terajut lama ini. Selama ini, aku berusaha untuk kuat, tertawa-tawa, dan menjalani hidup seperti biasa. Tidak seperti kasus-kasus putus sebelumnya, kemarin aku terlihat baik-baik saja. Tidak ada curahatan panjang di mobil bersama teman-temanku. Tidak ada lagi aku yang terbata-bata ingin mengungkapkan rasa, tapi hanya satu-dua kata yang keluar dan membingungkan orang-orang. Tidak ada telepon malam-malam mengasihani diri sendiri. Tidak ada momen-momen saat aku mendadak merasa drop di kampus di depan teman-temanku. Semuanya berjalan seolah-olah aku tidak merasa sedih dengan perpisahan ini.


Yah, tapi, ya, nggak mungkinlah nggak sedih, kan? Namanya juga putus cinta, pasti satu paket sama air mata, curhat, dan sakit hati. Tapi, kamu mungkin tidak lagi perlu untuk tahu itu.

Ada sisi dari diriku yang merasa baik-baik saja karena memang mengakhiri semuanya dengan baik-baik. Tapi, memang kekosongan dan kehilangan tetap saja terasa. Tetap terasa meski terkadang aku selalu berusaha mengisi itu semua dengan kegiatan-kegiatan nggak penting: main kartu selama berjam-jam di kantin, jalan-jalan, ngoceh nggak jelas sama adik-adikku, karokean, atau nonton film-film sampah di bioskop sama teman-temanku. Dan, aku memang bisa melakukan semuanya dengan tersenyum. Aku sendiri tidak tahu apakah orang melihat senyumku itu tulus atau nggak. Tapi, aku, sih, merasa aku memang bisa tersenyum dengan santai-santai saja.

Tapi, aku tahu, di balik itu semua masih ada sisi dari diriku yang sebenarnya ingin, SANGAT AMAT INGIN, kamu balik lagi ke dalam kehidupan aku. Alam bawah sadar dan alam atas sadarku (yang untungnya masih bisa kukontrol) memang masih selalu terbayang dirimu, sosokmu, dan segala hal kecil tentang kamu. Hati ini ternyata memang masih tertambat pada kamu, seseorang dari fakultas sebelah itu.

Pagi ini, ritual pagiku memang berlanjut seperti biasa, bikin kopi, lantas duduk di sebelah jendela kamar sambil dengerin lagu dan merokok. Tapi, sekarang, bahkan hal-hal terkecil yang aku lakukan pun mengingatkan aku pada kamu.

Setiap kali aku bikin kopi, aku teringat sama sosokmu waktu pertama kali kita kenalan. Sosokmu yang bersendal jepit, berkemeja kotak-kotak dengan kaos belel di dalamnya, yang duduk di meja paling belakang kantin lengkap dengan dua kotak rokok dengan merek berbeda dan satu gelas kopi hitam. Sosok yang membuat teman-temanku berkomentar dengan kurang ajar, "Sumpah, dia kayak abang-abang banget!"

Sosok kamu, sosok yang ternyata membuat aku jatuh cinta.

Kamu adalha si kopi hitam. Keras, sedikit pahit, tapi nggak macem-macem. Ajeg. Nggak ada dalam kamus kamu mengeluh soal kopi ini kemanisan, kebanyakan air, atau yang selalu aku keluhkan, "kopinya aseeeeeeeem!" Kamu adalah ornag yang praktis, yang pakem. Sementara aku, aku adalah si kopi susu dengan kebanyakan gula. Jujur, aku ingin menjadi kuat seperti kamu, tapi ternyata aku amsih butuh banyak pemanis dalam menjalani hidup. Aku belum bisa menghilangkan keinginan untuk menjadi anak-anak yang memang doyan sama yang manis-manis. Aku adlah sosok yang terkadang suka kebanyakan maunya, yang selalu mengeluh: kopinya kurang manis, kopinya kebanyakan susu. Aku inign menjadi sekeras dan sekuat kopi hitam, tapi ternyata aku belum mampu. Aku masih butuh banyak tambahan gula, sampai pada taraf aku terancam diabetes.

Setiap kali menyalakan rokok, aku selalu teringat dengan kamu yang selalu siap dengan dua rokok dengan merek berbeda. Satu mentol, yang satu lagi filter. Sementara aku, aku dengan satu kotak rokok yang kata orang mereknya "sejuta umat", rokok mild yang manis. Kamu adalh si rokok mentol, yang pahit dan dingin. Tapi, kamu juga si rokok filter, yang kuat dan berat. Sementara itu, aku adalah si rokok yang ringan, yang manis, yang kembali memperlihatkan betapa aku nggak sanggup dengan segala yang pahit. Kamu adalah si dua rooko dengan merek berbeda, dengan pengalaman-pengalaman yang berbeda dari kebanyakan orang. Sementara aku-walaupun mungkin berbeda dari kebanyakan cewek yang tidak merokok (dan aku juga bukan perokok mentol)-aku  tetap saja orang dengan pengalaman biasa-biasa saja. Aku adalah rokok sejuta umat. Marginal, biasa saja, hanya satu orang yang sama dengan hampir kebanyakan.

Bisa dibilang pada dasarnya kita sama, dalam artian sama-sama pecandu rokok dan kopi. Tapi, sekarang, aku menyadari bahwa memang ternyata kita berbeda. Luar biasa berbeda.

Aku tahu, ketidakcocokan kita bukan pada ketidakcocokan prinsip atau keinginan atau, bahkan, tujuan ingin sama-sama kita capai. Aku tahu apa yang aku inginkan sama dengan apa yang kamu inginkan. Aku juga tahu tujuan kita sebenarnya ke mana. Tapi, aku juga akhirnya sadar, yang tidak cocok  di sini ternyata cuma selera dan pilihan dalam bertingkah. Sosok aku belum tepat untuk kamu, begitu juga sebaliknya.

Aku yang terkadang kekanak-kanakan, yang maunya serbamanis, dan terkadang suka terlalu ribet sendiri, tidak cocok dengan kamu yang praktis, dan nggak mau macem-macem.

Aku ingat, kita pernah punya komitmen untuk tidak melarang satu sama lain merokok. Kita berdua nggak mungkin melarang orang melakukan sesuatu yang kita juga nggak bisa kita lakukan sendiri. Berhenti merokok, maksudnya. Dahulu, kamu pernah bilang, "untung ya, rokok kita berbeda." Kamu bilang begitu dalam konteks berarti untuk yang satu itu, kita nggak perlu berbagi bahan pokok dalam hidup (inget nggak, kalau buat orang ada 4 sehat 5 sempurna, buat kita yang lengkap ditambah satu lagi: 4 sehat 5 sempurna DAN 1 racun?)

Tapi, sekarang, dari situ, aku sadar, kita berdua ternyata sama-sama keras kepala dan egois. Kita belum bisa (atau mungkin belum mau) menyatukan persepsi ataupun berbagi sepenuhnya. Sama-sama belum mau berubah untuk satu sama lain.

Sekarang, di sinilah aku, di sebelah jendela kamar. Di depan segelas kopi susu dan sekotak rokok mild, mengingat kamu dan menekan rasa kangen yang makin lama makin aku rasakan. Kemarin, kita memang tidak bilang "putus", kita berdua lebih memilih kata-kata "jalan sendiri-sendiri dulu untuk memperbaiki diri masing-masing, berubah untuk jadi lebih baik dari dulu, untuk diri sendiri dan untuk masing-masing". Jujur, kata-kata itu memang membuat aku berharap mungkin nantinya jalan kita akan kembali bertemu. Dan, mungkin, kita akan bisa berjalan di setapak yang sama lagi, seperti hari-hari sebelum hari Kamis kelabu itu.

Aku tidak akan tahu juga kapan itu bisa terjadi. Mungkin dalam waktu dekat, mungkin juga perjalanannya juga masih sangat jauh. Mungkin juga nggak akan terjadi. Aku nggak tahu. Aku yakin kamu pun nggak tahu. Yah, mungkin untuk sekarang, biar Tuhan aja dulu yang tahu. Tapi, aku berharap, misalnya, kalau semuanya bisa terjadi dan pada saat itu aku kembali bersama kamu lagi, aku ingin melihat diri kita duduk bersama di suatu tempat, ngobrol panjang, dan ketawa-ketawa lagi seperti dulu.

Dan, mungkin, pada saat itu, aku sudah bisa menikmati segelas kopi hitam dan mungkin kita udah sama-sama bisa berhenti merokok.
 kata0k
Untuk sekarang, aku tahu yang bisa aku lakukan hanya menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Aku memang akan selalu teringat kamu pada saat aku mendengarkan OneRepublic, atau Efek Rumah Kaca, atau Kings of Convenience. Atau, lagu-lagu yang biasa kamu nyanyiin sambil gitaran di telepon buat aku di malam-malam ketika kamu nemenin aku ngerjain tugas atau cuma untuk ninaboboin aku. Tapi, aku memang harus bisa membenahi diri dulu. Untuk jadi lebih baik, baut kamu, tapi lebih penting lagi, buat diriku sendiri.

Satu hal yang mungkin harus kamu tahu, aku masih punya secuil harapan itu. Secuil harapan yang kemudian mengakar dan menjadi sebongkah keyakinan yang aku pegang teguh. Aku tidak tahu dari mana semua itu datang. Tapi, satu hal yang aku yakin, kamu adalah yang terbaik yang pernah aku miliki walaupun kita tidak bisa bersama sekarang. Walaupun sosok kita belum tepat untuk satu sama lain. Walaupun kita ternyata belum punya cukup energi  untuk menyatukan dua hati ini.

Aku sayang kamu, slelau dan selamanya. Maafkan aku yang hanya bisa menyampaikan ini lewat kata-kata yang mungkin akan kamu buang dan anggap sebagai sebuah roman picisan atau rayuan gombal seorang perempuan yang sudah tidak tahu lagi harus bagaimana mendapatkanmu kembali. Tapi, aku menunggu. Menunggu sampai jalan itu bertaut kembali, menunggu sampai kamu bisa mengisi setapak ini lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.