Pages

Sahabatku

Kamis, 17 Januari 2013



AIRMATA BAHAGIA KEKASIHKU !
Brrrumm…bruuumm…bruuuummm…
Pagi-pagi buta aku sudah mendengar suara deruman sepeda motor butut milik ayahku. Kulirik jarum jam di dinding kamarku dan ternyata menunjukkan pukul empat dini hari. Sudah pasti yang menghidupkan sepeda motor tadi ialah ibuku. Mungkin ia hendak beranjak pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan yang akan dijualnya pagi ini. Aku keluar dari kamarku, kulihat ayahku yang sedang mencari-cari sesuatu. Aku menghampirinya.

            “Cari apa, yah?”, tanyaku sambil membungkukkan badan.
            “Tali,” jawab ayahku singkat. Ayahku memang bukan termasuk orang yang suka berbicara. Ia hanya mau mengeluarkan suara seperlunya saja. Namun ia sangat teliti dan memperhatikan sekelilingnya. Aku pun ikut berusaha mencari tali tersebut walau aku tidak tahu untuk apa tali itu. Nah, itu dia! Akhirnya aku menemukannya. Aku langsung menyerahkan tali yang kira-kira panjangnya hanya mencapai 1,5 meter itu pada ayah. Aku tetap di tempatku berdiri untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Spontan saja aku terkejut. Ternyata tali itu dipergunakannya untuk mengikat bola lampu sepeda motor butut miliknya. Astaga! Apakah mungkin ibuku akan pergi ke pasar sendirian dengan sepeda motor butut ini dan ditambah lagi bola lampunya yang diikat tali? Aku hanya terdiam membisu. Selesai sudah ayahku mengikat bola lampu itu, ibuku keluar dari kamar dengan jaketnya yang tidak tebal lagi. Ingin rasanya kutemani ibu ke pasar, tapi aku masih terlalu gengsi saat itu. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang terus berlalu di ujung gelap pagi buta. Aku pun membereskan tempat dagangan ibu sebelum aku pergi sekolah. Ayah membantuku.
            Pagi itu ibu lama pulang, hatiku gelisah tak keruan. Sudah banyak pembeli langganan ibuku di sini. Akhirnya telah lama menunggu ibuku pun pulang. Namun ia tidak bersama dengan sepeda motor butut milik ayahku. Melainkan ia diantar oleh becak motor. Aku langsung berlari menghampiri ibu.
            “Astaghfirullah, apa yang terjadi, bu?” tanyaku gemetar begitu melihat kaki ibu penuh luka.
            “Ibumu disenggol oleh pengendara lain sewaktu pulang dari pasar tadi. Kebetulan saya berada di belakangnya. Sebenarnya saya tadi bermaksud untuk membawa ibumu ke puskesmas, tetapi ibumu menolak. Ia minta langsung diantar pulang saja,” tukas sopir becak itu.
            Kebetulan ayah sudah berangkat kerja. Hanya ada aku di rumah. Semestinya pun aku harus sudah berangkat ke sekolah, tetapi tidak mungkin aku meninggalkan rumah dan dagangan ini tanpa ada ibu yang menjaga.
            “Terima kasih, pak. Berapa ongkosnya?” tanyaku pada sopir becak itu sambil merogoh tasku untuk mengambil sisa uang saku ku kemarin.
            “Tidak usah, dik. Bapak ikhlas. Rawatlah ibumu,” tolak sopir becak itu lagi sambil menurunkan barang-barang dagangan ibu.
            Aku membawa ibu masuk ke rumah. Pembeli yang lain membantu menyusun barang-barang belanjaan ibu.
            “Sila, sudah jam segini kamu belum berangkat ke sekolah. Nanti kamu bisa terlambat. Bukankah semalam kamu bilang bahwa hari ini ada ulangan?” tanya ibu padaku tanpa memperlihatkan rasa sakit akibat luka di kakinya.
            “Lalu bagaimana dengan ibu?”
            “Ah, sudahlah. Hanya luka ringan. Dan ibu akan lebih luka lagi bila nilai ulanganmu jelek,” ungkap ibu sambil berusaha tersenyum selebar-lebarnya.
            Aku pun berangkat ke sekolah. Dan benar apa kata ibu, kalau saja tadi aku tidak lebih cepat lima menit untuk berangkat ke sekolah, mungkin aku tidak akan mengikuti ulangan hari ini. Dan ibu mungkin akan lebih sakit hatinya.
1 bulan kemudian
            Banyak siswa yang menunggu kedatangan orang tuanya di pagar sekolah. Kebetulan hari itu adalah hari pengambilan raport. Sejurus kemudian ibuku datang bersama ayahku. Sesibuk apapun orang tuaku, namun mereka tetap selalu berusaha meluangkan waktu mereka untuk menghadiri acara-acara seperti ini. Bergetar rasanya dadaku ini memandang kedatangan mereka. Apakah yang akan didengar mereka pada saat pembagian raport nanti?
            Acara pengambilan raport itu diadakan di lapangan sekolah kami yang sangat luas. Siswa-siswi dibariskan. Orang tua murid duduk di bangku yang telah disediakan di pinggir lapangan. Kepala sekolahku dengan sangat berwibawa membuka acara tersebut. Bagi siswa yang memiliki peringkat tiga besar akan dipanggil ke depan. Kepala sekolah memanggil dari urutan terbawah. Jantungku berdegup ketika sampai di peringkat kedua, aku melihat ke arah sesuatu yang hitam dan hampir legam. Mereka adalah orang tuaku. Namun namaku juga tidak disebutkan. Mereka tertunduk. Mataku berkaca melihat kepasrahan mereka. Aku tertunduk menyesal.
            Tiba-tiba pundakku dipukul oleh temanku. Sakit sekali rasanya. Ternyata itu sudah pukulan yang keberapa dilakukan temanku.
            “Namamu dipanggil, kau harus maju ke depan. Kau juara satu. Kau juga memenangkan lomba cerpen itu.”
            Sorakan temanku tadi terngiang-ngiang di telingaku. Kupandangai ke arah hitam dan legam tadi. Mereka berdua menyorakiku. Sambil tertawa dan menangis. Ayahku meloncat dari bangku sambil berlari ke arahku. Ia memelukku. Mengalir airmatanya di pipiku. Aku digiring guru-guruku ke depan. Mereka memberiku tropi, piagam, serta bingkisan. Aku, seorang anak miskin yang mampu berdiri di depan ini. Di halaman sekolah SMK terhebat di kotaku. Di antara golongan orang-orang elite. Di Kulihat lagi ke pojok sana. Ayah dan ibuku yang sedang duduk bersama orang-orang berdasi, bermake-up tebal. Menangis bahagia untukku. Mereka adalah kekasihku. 

1 komentar:

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.