Pages

Sahabatku

Minggu, 20 Januari 2013

KEPADA CINTA

Dari: Andi Eriawan


Ada kabar gembira dari putramu ini, Bunda. Atas berkat doamu, aku telah diterima kerja. Setelah dua puluh lima tahun engkau urusi, tiba waktunya bagi si manja ini memberi sesuatu untukmu dari gaji pertamanya. Tapi, aku tidak akan memberi tahu tentang itu sekarang. Biarlah ini menjadi sebuah kejutan manis menjelang hari Lebaran saat aku pulang nanti.

Tapi, kebahagiaan kita tidak hanya sampai di situ, Bunda. Tuhan telah bermurah hati mempertemukan aku dengan calon menantumu. Tapi, maaf, Bunda, ia memang tidak secantik Bunda sewaktu muda dahulu. Maafkan pula jika perempuan ini belum pandai memasak, apalagi mengaji. Ia belum bisa menakar garam dan gula, juga membedakan huruf "ba" dan "ta". Namun, percayalah, ia seorang yang istimewa.


Bunda tentu bertanya-tanya tentang siapa dia dan berharap aku segera menceritakannya. Bukan tidak mau, tapi aku justru bingung untuk memulai dari mana. Jika kumulai dari namanya, Bunda tentu akan bertanya anak siapa. Jika kuberitahu usianya, pertanyaan Bunda akan berlanjut pada asal kampungnya. Yang aku khawatirkan, halaman tinta dan kertas ini habis sebelum sempat kusampaikan salam dan doa untuk Bunda. Karena itu, kali ini, hanya akan kuceritakan bagaimana kami berdua berjumpa. Kuharap Bunda tidak kecewa.

Segalanya berawal dari kecintaan kami pada gunung, Bunda. Rimbunnya, hijaunya, segamnya, bisikannya di malam hari, dan pelukannya saat terlelap mimpi. Juga rasa cinta kami pada pantai, Bunda. Aroma garam, pohon kelapa, serta debur ombak yang begitu memikat. Atau, sekadar memerhatikan terbitnya matahari secara perlahan dari batas horizon. Karena itulah, Bunda pasti dapat dengan mudah menebak di mana calon menantumu menemukan putramu.

Bukan. Pertemuan kami bukan terjadi di gunung, Bunda. Di sana terlalu sunyi dan senyap. Gunung bukan tempat yang tepat untuk menemukan pasangan. Lebih tepat untuk menyendiri. Berpikir tentang masa depan dan mengevaluasi hal-hal yang telah dilakukan.

Bukan juga pantai, Bunda, mengingat di sana terlalu ramai. Aku biasanya lebih sibuk berenang hingga kulitku merah terbakar daripada berkenalalan. Lagi pula, rasanya sulit menilai seorang gadis yang akan Bunda sayangi di balik pakaian pantai mereka yang basah dan minim.

Ya, Bunda. Tuhan mempertemukan kmai di sebuah ruang praktik dokter gigi yang sederhana-sewaktu aku kecil, Bunda tidak pernah berhasil membawaku ke tempat seperti itu. Pertemuan itu terjadi tiga bulan yang lalu, ketika gigi geraham terakhirku tumbuh. Banyak orang bilang bahwa itu adalah salah satu tanda putramu menjadi dewasa. Tapi, tetap saja rasa sakitnya tak tertahankan. Luar biasa. Bahkan, aku hampir menangis. Aku pun segera mengepak barang, memutuskan untuk pulang.

Untungnya, Bunda, aku kehabisan tiket kereta-tapi, sebelumnya, aku pikir itu sial. Daripada menunggu delapan jam untuk jadwal berikutnya dalam kondisi tersiksa, aku memutuskan ke dokter gigi. Dan, di sanalah aku ditemukan olehnya.

Tepat sekali, Bunda. Calon menantumu itu sama seperti aku, seorang pasien yang sedang didera siska akibat gigi bungsu yang muncul dengan tidak sempurna. Mungkin rahang kami sama-sama tidak memiliki tempat yang cukup agar si bungsu bisa tumbuh dengan wajar. Itu yang dokter kami bilang.

Terbayangkan olehmu, Bunda, perbincangan kami berdua? Dimulai dengan suara "a i u" yang tidak jelas, apa pun yang ia ucapkan membuat tekanan darah justru naik ke atas. Tapi, keakraban kemudian tumbuh seiring dengan kesembuhan kami. Pertemuan tidak hanya terjadi di ruang praktik, tapi juga sewaktu kami difoto buat kartu perndaftaran dan menebus obat di apotek.

Hari demi hari, kami mulai mengerti satu sama lain, membicarakan hal-hal menarik yang terlintas di kepala. Mulanya pertemanan ini biasa saja, tanpa bujuk rayu dan embel-embel ini itu. Sampai suatu hari, aku baru menyadari kelebihannya. Dia menanyakan tentang engkau, Bunda!

Sulit bagiku untuk merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Bunda. Jika kumulai dari caramu membesarkanku, dia akan bertanya Bunda orang mana. Kalau kuceritakan bahwa Bunda paling juara dalam memasak rendang, takutnya aku ditanya apa resepnya. Sering kali, kesempatan kami yang singkat untuk bertemu itu dipisahkan larutnya malam karena asyik menceritakanmu.

Tapi, tidak sampai di situ, Bunda. Tepat hari kemarin, dia bilang bahwa suatu hari dia ingin bertemu denganmu. Mulanya, aku hanya terdiam dan memberi jawaban penuh teka-teki padanya. Tapi, permohonannya terdengar tulus, didasarkan pada kekagumannya pada Bunda. Karena tidak mau terlalu lama membuatnya menunggu, akhirnya kujawab juga pertanyaannya dengan jawaban yang sangat pahit terdengar di telingaku. Bahkan, setahun lewat pun kalimat itu nyaris tidak pernah bisa aku ucapkan.

"Bunda sudah meninggal!"

Entah karena rasa empati yang besar-atau karena menangkap perubahan air wajahku-tapi, aku sungguh sangat menyukai cara dia berikutnya (dan, mungkin hal itu yang membulatkan keputusan untuk menjadikannya menantumu). Dia terdiam, memandangku sesaat. Tangannya mencengkeram lembut bahuku. Perlahan, kulit matanya berkaca-kaca, lalu air bening itu pun menitik.

Bunda, putramu yang dahulu manja, kini telah dewasa. Ia akan segera pulang, beserta oleh-oleh dan menantu untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.