AIRMATA BAHAGIA KEKASIHKU !
Brrrumm…bruuumm…bruuuummm…
Pagi-pagi buta
aku sudah mendengar suara deruman sepeda motor butut milik ayahku. Kulirik
jarum jam di dinding kamarku dan ternyata menunjukkan pukul empat dini hari.
Sudah pasti yang menghidupkan sepeda motor tadi ialah ibuku. Mungkin ia hendak
beranjak pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan yang akan dijualnya pagi
ini. Aku keluar dari kamarku, kulihat ayahku yang sedang mencari-cari sesuatu.
Aku menghampirinya.
“Cari apa, yah?”, tanyaku sambil
membungkukkan badan.
“Tali,” jawab ayahku singkat. Ayahku
memang bukan termasuk orang yang suka berbicara. Ia hanya mau mengeluarkan
suara seperlunya saja. Namun ia sangat teliti dan memperhatikan sekelilingnya.
Aku pun ikut berusaha mencari tali tersebut walau aku tidak tahu untuk apa tali
itu. Nah, itu dia! Akhirnya aku menemukannya. Aku langsung menyerahkan tali
yang kira-kira panjangnya hanya mencapai 1,5 meter itu pada ayah. Aku tetap di
tempatku berdiri untuk melihat apa yang akan dilakukannya. Spontan saja aku
terkejut. Ternyata tali itu dipergunakannya untuk mengikat bola lampu sepeda
motor butut miliknya. Astaga! Apakah mungkin ibuku akan pergi ke pasar
sendirian dengan sepeda motor butut ini dan ditambah lagi bola lampunya yang
diikat tali? Aku hanya terdiam membisu. Selesai sudah ayahku mengikat bola
lampu itu, ibuku keluar dari kamar dengan jaketnya yang tidak tebal lagi. Ingin
rasanya kutemani ibu ke pasar, tapi aku masih terlalu gengsi saat itu. Aku
hanya bisa melihat punggungnya yang terus berlalu di ujung gelap pagi buta. Aku
pun membereskan tempat dagangan ibu sebelum aku pergi sekolah. Ayah membantuku.
Pagi itu ibu lama pulang, hatiku
gelisah tak keruan. Sudah banyak pembeli langganan ibuku di sini. Akhirnya
telah lama menunggu ibuku pun pulang. Namun ia tidak bersama dengan sepeda
motor butut milik ayahku. Melainkan ia diantar oleh becak motor. Aku langsung
berlari menghampiri ibu.
“Astaghfirullah, apa yang terjadi,
bu?” tanyaku gemetar begitu melihat kaki ibu penuh luka.
“Ibumu disenggol oleh pengendara
lain sewaktu pulang dari pasar tadi. Kebetulan saya berada di belakangnya.
Sebenarnya saya tadi bermaksud untuk membawa ibumu ke puskesmas, tetapi ibumu
menolak. Ia minta langsung diantar pulang saja,” tukas sopir becak itu.
Kebetulan ayah sudah berangkat
kerja. Hanya ada aku di rumah. Semestinya pun aku harus sudah berangkat ke
sekolah, tetapi tidak mungkin aku meninggalkan rumah dan dagangan ini tanpa ada
ibu yang menjaga.
“Terima kasih, pak. Berapa
ongkosnya?” tanyaku pada sopir becak itu sambil merogoh tasku untuk mengambil
sisa uang saku ku kemarin.
“Tidak usah, dik. Bapak ikhlas.
Rawatlah ibumu,” tolak sopir becak itu lagi sambil menurunkan barang-barang
dagangan ibu.
Aku membawa ibu masuk ke rumah.
Pembeli yang lain membantu menyusun barang-barang belanjaan ibu.
“Sila, sudah jam segini kamu belum
berangkat ke sekolah. Nanti kamu bisa terlambat. Bukankah semalam kamu bilang
bahwa hari ini ada ulangan?” tanya ibu padaku tanpa memperlihatkan rasa sakit
akibat luka di kakinya.
“Lalu bagaimana dengan ibu?”
“Ah, sudahlah. Hanya luka ringan.
Dan ibu akan lebih luka lagi bila nilai ulanganmu jelek,” ungkap ibu sambil
berusaha tersenyum selebar-lebarnya.
Aku pun berangkat ke sekolah. Dan
benar apa kata ibu, kalau saja tadi aku tidak lebih cepat lima menit untuk berangkat ke sekolah,
mungkin aku tidak akan mengikuti ulangan hari ini. Dan ibu mungkin akan lebih
sakit hatinya.
1 bulan kemudian
Banyak siswa yang menunggu kedatangan
orang tuanya di pagar sekolah. Kebetulan hari itu adalah hari pengambilan
raport. Sejurus kemudian ibuku datang bersama ayahku. Sesibuk apapun orang
tuaku, namun mereka tetap selalu berusaha meluangkan waktu mereka untuk
menghadiri acara-acara seperti ini. Bergetar rasanya dadaku ini memandang
kedatangan mereka. Apakah yang akan didengar mereka pada saat pembagian raport
nanti?
Acara pengambilan raport itu
diadakan di lapangan sekolah kami yang sangat luas. Siswa-siswi dibariskan.
Orang tua murid duduk di bangku yang telah disediakan di pinggir lapangan.
Kepala sekolahku dengan sangat berwibawa membuka acara tersebut. Bagi siswa
yang memiliki peringkat tiga besar akan dipanggil ke depan. Kepala sekolah
memanggil dari urutan terbawah. Jantungku berdegup ketika sampai di peringkat
kedua, aku melihat ke arah sesuatu yang hitam dan hampir legam. Mereka adalah
orang tuaku. Namun namaku juga tidak disebutkan. Mereka tertunduk. Mataku
berkaca melihat kepasrahan mereka. Aku tertunduk menyesal.
Tiba-tiba pundakku dipukul oleh
temanku. Sakit sekali rasanya. Ternyata itu sudah pukulan yang keberapa
dilakukan temanku.
“Namamu dipanggil, kau harus maju ke
depan. Kau juara satu. Kau juga memenangkan lomba cerpen itu.”
Sorakan temanku tadi
terngiang-ngiang di telingaku. Kupandangai ke arah hitam dan legam tadi. Mereka
berdua menyorakiku. Sambil tertawa dan menangis. Ayahku meloncat dari bangku
sambil berlari ke arahku. Ia memelukku. Mengalir airmatanya di pipiku. Aku
digiring guru-guruku ke depan. Mereka memberiku tropi, piagam, serta bingkisan.
Aku, seorang anak miskin yang mampu berdiri di depan ini. Di halaman sekolah
SMK terhebat di kotaku. Di antara golongan orang-orang elite. Di Kulihat lagi
ke pojok sana .
Ayah dan ibuku yang sedang duduk bersama orang-orang berdasi, bermake-up tebal.
Menangis bahagia untukku. Mereka adalah kekasihku.
Keren (y) blog nya
BalasHapus